PERKEMBANGAN
ILMU PENGETAHUAN DI INDONESIA
(Untuk Memenuhi Tugas Akhir
Filsafat Ilmu)
TUGAS
INDIVIDU
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. M. Bashori, M. Msi
Oleh:
Vika
Khulla Mahbubah
21402071009
UNIVERSITAS
ISLAM MALANG
FAKULTAS
PASCASARJANA
PRODI
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
FEBRUARI 2015
LATAR BELAKANG
Pancasila digali dari budaya bangsa
Indonesia sendiri, sehingga Pancasila mempunyai fungsi dan peranan yang sangat
luas dalam kehidupan bermasyarat, berbangsa, dan bernegara. Fungsi dan peranan
itu terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Itulah sebabnya, Pancasila
memiliki berbagai predikat sebagai sebutan nama yang menggambarkan fungsi dan
peranannya.
Fungsi dan peranan Pancasila oleh PB7
Pusat, 1993 (dalam Surajiyo, 2010) diuraikan mulai dari yang abstrak sampai
yang kongret menjadi sepuluh, yakni Pancasila sebagai jiwa bangsa, Pancasila
sebagai sebagai kepribadian bangsa Indonesia, Pancasila sebagai dasar Negara
Republik Indonesia, Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia, pancasila sebagai perjanjian luhur, Pancasila sebagai pandangan
hidup yang mempersatukan bangsa Indonesia, Pancasila sebagai cita-cita dan
tujuan bangsa Indonesia, Pancasila sebagai satu-satunya asa dalam kehidupan
bermasyarakt berbangsa dan bernegara, Pancasila sebagai moral Pembangunan dan
Pembangaunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.
Pancasila sebagaimana terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945 adalah dasr Negara dari Negara Kesatuaan Republik Indonesia
harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehipan bernegara. Tujuan nasional
sebagai mana ditegaskan dalam Pembukaan UUD1945 diwujukkan melalui pelaksanaan
penyenggaraan Negara yang berkedaulatan rakyat dan demokratis denga menutamakan
persatuan dan kesatuan bangsa, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Penyenggaraan Negara dilaksanakan melalui pembangunan nasional dalam segalah
aspek kehidupan bangsa, oleh penyenggara Negara, bersama-sama segenap rakyat
Indonesia diseluh wilayah Negara Republik Indonesia.
Pembangunan nasional merupakan usaha
penningkatan kualitas manusia dan manyarakat Indonesia yangdilakukan secara
berkelanjutan, berlandaskan kemampuan nasional, dengan memanfaatkan kemajuan
ilmu pengetahun dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan
global. Dalam pelaksanaanya mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai-nilai
luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri,
berkeadilan, sejahterah, maju, dan kukuh kekuatan moral dan etikanya (Surajiyo,
2010:156-157).
PEMBAHASAN
Definisi Ilmu
Pengetahuan
Menurut Webster (dalam Suhartono, 2008:64)
bahwa pengetahuan menjelaskan tentang adanya suatu hal yang diperoleh secara
biasa atau sehari-hari (regularly) melalui pengalaman-pengalaman, kesadaran,
informasi, dan sebagainya. Sedangkan ilmu, di dalamnya terkandung pengetahuan
yang pasti, lebih praktis, sistematis, metodik, ilmiah dan mencakup kebenaran
umum mengenai objek studi yang lebih bersifat fisis (natural).
Sejalan dengan pendapat di atas
(Surajiyo, 2010:26) menyebutkan bahwa pengetahuan adalah suatu istilah yang
dipergunakan untuk menuturkan apabila seseorang mengenal tentang sesuatu. Suatu
hal yang menjadi pengetahuannya adalah selalu terdiri atas unsure yang
mengetahui dan diketahui serta kesadaran mengenai hal yang ingin diketahuinya.
Jadi bisa dikatakan pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu,
atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek yang dihadapinya, atau
hasil usaha manusia untuk memaahami suatu objek tertentu. Sedangkan ilmu
menurut The Liang Gie 1987 (dalam Surajiyo, 2010:56) ilmu adalah rangkaian
aktifitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh
pemahaman secara rasional empitis mengenai dunia inidalam berbagai seginya, dan
keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin
dimengerti manusia.
Aktivitas
Ilmu
Metode pengetahuan
Bagan 1.1 (Surajiyo, 2010:56)
Dalam bagan tersebut memperlihatkan
bahwa ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu
dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan
pengetahuan yang sistematis. Baik ilmu maupun pengetahuan adalah sama
pentingnya dalam hidup dan kehidupan manusia. Ilmu membentuk daya intelegensia yang melahirkan adanya skiil atau keterampilan yang bisa
mengonsumsi masalah-masalah atau kebutuhan keseharian (termasuk tujuan
langsung). Sedangkan pengetahuan, membentuk daya moralitas keilmuan yang
kemudian melahirkan tingkah laku dan perbuatan yang berkaitan dengan
masalah-masalah yang tercakup ditujuan akhir kehidupan manusia (tujuan tak
langsung) (Suhartono, 2008:64).
Ilmu sebagai aktivitas ilmiah dapat
berwujud penelaahan (study),
penyelidikan (inquiry), usaha
menemukan (attempt to find) atau
pencarian (search). Oleh karena itu,
pencarian biasanya dilakukan berulang kali, maka dalam dunia ilmu kini
dipergunakan istilah research
(penelitian) untuk aktivitas ilmiah yang paling berbobot guna menemukan
pengetahuan baru. Metode ilmiah merupakan procedural yang mencakup berbagai
tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk memperoleh
pengetahuan baru atau memperkembangkan pengetahuan yang ada (Surajiyo,
2010:56).
Metode yang berkaitan dengan pola
procedural meliputi pengamatan, percobaan, pengukuran, survey, deduksi,
induksi, analisis, dan lain-lain. Berkaitan dengan tata langkah meliputi
penentuan masalah, perumusan hipotesis (bila perlu), pengumpulan data,
penurunan kesimpulan, dan pengujian hasil. Sedangkan yang berkaitan dengan
berbagai teknik meliputi daftar pertanyaan, wawancara, perhitungan, pemanasan
dll. Dan yang terakhir, yang berkaitan dengan aneka alat, meliputi timbangan,
meteran, perapian, computer, dan lain-lain.
Dari aktivitas ilmiah dengan metode
ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuan dapatlah dihimpun sekumpulan pengetahuan
yang baru atau disempurnakakan pengetahuan yang telah ada, sehingga dikalangan
ilmuan maupun para filsuf pada umumnya terdapat kesepakatan bahwa ilmu adalah
sekumpulan pengetahuan yang sistematis. Adapun menurut Bahm (dalam Surajiyo,
2010:57) definisi ilmu pengetahuan melibatkan paling tidak enam macam komponen,
yaitu masalah (problem), sikap (attitude), metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclution), dan pengaruh (effects).
Ciri-Ciri
Ilmu Pengetahuan
Ciri persoalan pengetahuan ilmiah antara
lain adalah persoala dalam ilmu itu penting untuk segera dipecahkan dengan
maksuduntuk memperoleh jawaban. Dalam hal ini memang ilmu muncul dari adanya
problema itu telah diketahuinya sebagai suatu persoalan yang tidak
terselesaikan dalam pengetahuan sehari-harinya. Disamping itu, setiap ilmu
dapat memecahkan masalah sehingga mencapai suatu kejelasan serta kebenaran,
walaupun bukan kebenaran akhir yang abadi dan mutlak. Kemudian bahwa setiap
jawaban dalam masalah ilmu yang telah berupa kebenaran harus dapat diuji oleh
orang lain. Pengujiannya baik dalam pembenaran atau penyangkalan. Hal ini juga
bahwa setiap masalah dalam ilmu harus dapat dijawab dengan cara penelaahan dan
penelitian keilmuan yang seksama, sehingga dapat dijelaskan dan didefinisikan
(Surajiyo, 2010:58).
Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah
menurut The Liang Gie 1987 (dalam Surajiyo, 2010:59) mempunyai 5 ciri pokok:
(1) Empiris, pengetahuan diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan, (2) sistematis,
berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai
hubungan ketergantungan yang teratur, (3) objektif, ilmu berarti pengetahuan
itu bebas dari prasangka perseorangan atau kesukaan pribadi, (4) analitis,
pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang
terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari
bagian-bagian itu, (5) verifikatif, dapat diperiksa oleh siapapun juga.
Adapun Joesoef 1987 (dalam Surajiyo,
2010:59) menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu pada tiga hal, yaitu produk,
proses, dan masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk, yaitu pengetahuan yang
telah diketahui dan diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmuan. Pengetahuan
ilmiah dalam hal ini terbatas pada kenyataan-kenyataan yang mengandung
kemungkinan untuk disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji, dan dibantah
seseorang.
Ilmu pengetahuan sebagai proses artinya,
kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan demi penemuan dan pemahaman dunia alami
sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki. Metode ilmiah yang
khas dipakai dalam proses ini adalah analisis-rasional, objektif, sejauh
mungkin ‘impersonal’ dari
masalah-masalah yang didasarkan pada percobaan dan data yang dapat diamati.
Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat
artinya, dunia pergaulan yang tindak-tanduknya, prilaku dan sikap serta tutur
katanya diatur oleh empat ketentuan yaitu universalisme, komunalisme, tanpa
pamrih, dan skeptisisme yang teratur.
Van Melsen 1985 (dalam Surajiyo, 2010:59-60)
mengemukakan ada delapan ciri yang menandai ilmu yaitu:
1) Ilmu
pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu kesluruhan yang secara logis
koheren. Itu berarti adanya system dalam penelitian (metode) maupun harus
(susunan logis).
2) Ilmu
pengetahuan tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya dengan tanggung jawab
ilmuan.
3) Universalitas
ilmu pengetahuan.
4) Objektivitas,
artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi oleh
prasangka-prasangka subjektif.
5) Ilmu
pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang
bersangkutan, oleh karena itu ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan.
6) Progresivitas,
artinya suatujawaban ilmiah baru bersifat ilmiah sungguhsungguh, bila
menggandung pertanyaan baru dan menimbulkan problem baru lagi.
7) Kritis,
artinya tidak ada teori yang definitive, setiap teori terbuka bagi suatu
peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data baru.
8) Ilmu
pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan kebertautan antara teori
dengan praktis.
Menurut Kasmadi, dkk 1990 (dalam
Surajiyo 2010:60) demi objektivitas ilmu, ilmuwan harus bekerja dengan cara
ilmiah. Sifat ilmiah dalam ilmu dapat diwujudkan, jika dipenuhi syarat-syarat
yang intinya adalah: (1) ilmu harus memiliki objek, (2) ilmu harus mempunyai
metode, (3) ilmu harus sistematik, (4) ilmu bersifat universal.
Sekilas Tentang Sejarah
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Pemikiran filsafat banyak dipengaruhi
oleh lingkungan. Namun pada dasarnya filsafat baik di Barat, India, Cina muncul
dari yang sifatnya religious. Di Yunani dengan mitosnya, di India dengan
kitabnya Weda (agama Hindu), dan di Cina dengan Cofusiusnya. Di Barat mitos
dapat lenyap sama sekali dan rasio yang menonjol, sedangkan di India filsafat
tidak akan bisa lepas dengan induknya dalam hal ini agama Hindu. Pembagian
secara periodisasi filsafat Barat adalah zaman Kuno, zaman Abad Pertengahan,
zaman Modern, dan Masa Kini. Aliran yang muncul dan berpengaruh terhadap
pemikiran filsafat adalah Positifisme, Marxisme, Eksistensialisme,
Fenomenologi, Pragmatisme, dan Neo-Kantianianisme, dan Neo-tomisme. Pembagian
secara periodesasi filsafat Cina adalah zaman Kuno, zaman Pembaruan, zaman
Neo-konfusionisme, dan Zamaan Modern. Tema yang pokok di fisafat Cina adalah
masalah perikemanusiaan (jen). Pembagian cecara periodesasi filsafat India
adalah periode Weda, Wiracarita, Sutra-sutra, dan Skolastik. Dalam filsafat
India yang penting adalah bagaimana manusia bisa berteman dengan dunia bukan
untuk menguasai dunia. Adapun dalam filsafat Islam hanya ada dua periode, yaitu
periode Mutakallimin dan periode filsafat Islam (Sujiyono, 2010: 79).
Periode filsafat Yunani merupakan
periode sangat penting dalam sejarah peradapan manusia karena pada waktu itu
terjadi perubahan pola pikir manusia dari mite-mite
menjadi lebih rasional. Pola pikir mite-mite
adalah pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk
menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumu dan pelangi. Gempa bumi tidak
dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi sedang menggoyangkan kepalanya.
Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut tidak lagi
dianggap sebagai aktivitas Dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara
kausalitas. Perubahan pola piker tersebut kelihatannya sederhana, tetapi
implikasinya tidak sederhana karena selama ini alam ditakuti dan dijauhi
kemudian didekati bahkan dieksploitasi. Manusia
yang dahulunya pasif menghadapi fenomena alam menjadi lebih proaktif dan
kreatif, sehingga alam dijadikan objek penelitian dan pengkajian. Dari proses
inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat, yang akhirnya kita nikmati
dalam bentuk teknologi. Karena itu, periode perkembangan filsafat Yunani
merupakan poin untuk memasuki peradapan baru umat manusia.
Jadi, perkembangan ilmu pengetahuan
seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan secara
bertahap, evolutif. Karena untuk memahami sejarah perkembangan ilmu mau tidak
mau harus melakukan pembagian , atau klarifikasi secara periodic, karena setiap
periode menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu pada peradapan
Yunani.
Ilmu
Dan Masyarakat
Pada masa lampau kedudukan ilmu
pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari belum dapat dirasakan. Ilmu sama sekali
tidak memberikan pengaruhnya terhadap masyarakat. Ungkapan Aristoteles tentang
ilmu “umat manusia menjamin urusannya untuk hidup sehari-hari, barulah ia
arahkan pengetahuannya kepada ilmu pengetahuan’ Van Melsen 1987 (dalam Surajiyo,
2010:137).
Bagi manusia, kebenaran universal
merupakan suatu kebutuhan yang amat berguna. Adapun kegunaannya adalah untuk
memperluas pandangan atau wawasan yang kemudian dapat membentuk suatu pandangan
hidup atau filsafat hidup. Dengan filsafat hidup, manusia dapat memahami arti
dirinya (substansi), sehingga ia
dapat menempatkan keberadaannya (eksistensi)
dalam hidup dan kehidupannya. Dengan adanya tujuan hidup inilah manusia
menciptakan pedoman hidup, sikap hidup, cara hidup, dan tingkah laku hidup
sehari-hari.
Akan tetapi filsafat hidup itu justru
sering kali berbenturan dengan realitas kehidupan sehari-hari. ‘menolong’ orang
lain adalah suatu bentuk filsafat hidup yang baik. Tetapi, tidak semua prilaku
menolong itu bisa membuahkan kebaikan. Karena bisa saja menolong justru
mengembangkan sifat pemalas. Kiranya, penerapan filsafat hidup harus
mempertimbangkan ketetapan sasaran objek.
Menolong orang ;lain haruslah mempertimbangkan secara bijak, apakah oranag lain itu memang memerlukan
pertolongan atau tidak. Jadi,pada penerapan filsafat hidup seharusnya
mempertimbangkan refelansinya dengan keadaan nyata, yakni harus da hubungan
kausal (Suhartono, 2008:91-92).
Dewasa ini ilmu sangat berguna dalam
kehidupan sehari-hari, seolah-olah manusia sekarang tidak dapat hidup tanpa
ilmu pengetahuan. Kebutuhan manusia yang paling sederhana pun sekarang
memerlukan ilmu, misalnya kebutuhan pangan, sandang dan papan, sangat
tergantung dengan ilmu, meski yang paling sederhana pun. Maka kegiatan ilmiah
dewasa ini berdasarkan pada dua keyakinan berikut:
1) Segala
sesuatu dalam realitas dapat diselidiki secara ilmiah, bukan saja untuk
mengerti sealitas yang lebih baik, melainkan juga untuk menguasainy lebih
mendalam menurus segala aspeknya.
2) Semua
aspek realitas membutuhkan juga penyelidikan primer, seperti air, udara,
cahaya, kehangatan da tempat tinggal tidak akan cukup tanpa penyelidikan itu,
Van Melsen 1987 (dalam Surajiyo, 2010:137).
Dengan demikian, ilmu mengalami fungsi
yang berubah secara radikal, dari tidak berguna sama sekali dalam kehidupan
praktis menjadi “tempat tergantung” kehidupan manusia. Penemuan-penemuan secara
empiris memberikan kemungkinan baru, yang ternyata ada gunanya dalam praktis.
Ilmu yang semula rasional-empiris menjadi rasional-eksperimental. Dengan
demikian, ilmu mempunyai akibat yakni berguna dalam kehidupan masyarakat.
Pengertian
Dan Unsur-Unsur Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari kata
Sansakerta buddayah, yaitu bentuk
jamak dari buddi yang berarti budi
atau akal. Dengan demikian kebudayaan bisa diartikan hal-hal yng bersangkutan
dengan akal. Ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu
perkembangan dari majemuk bidi-daya, yang berarti daya dari budi. Oleh karena
itu, mereka mereka membedakan budaya dari kebudayaan. Demikian budaya adalah
daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa itu. (Koentjaraningrat, 1986
dalam Surajiyo, 2010:137-138).
Sejalan dengan pendapat di atas Sutan
Takdir Alisyahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah manifestasi dari cara
berpikir sehingga menurutnya pola kebudayaan itu sangat luas sebab semua laku
dan perbuatan tercakup didalamnya dan dapat diungkapkan pada basis cara
berpikir termasuk di dalamnya perasaan, karena perasaan juga merupakan maksud
dari pikiran. Sedangkan menurut Malinowski menyebutkan bahwa kebudayaan pada
prinsipnya berdasarkan atasas berbagai system kebutuhan manusia. Tiap tingkat
kebutuhan itu menghadirkan corak budaya yang khas. Misalnya guna memenuhi
kebutuhan manusia akan keselamatanya maka timbul kebudayaan yang berupa
perlindungan, yakni seperangkat budaya dalam bentuk tertentu,seperti lembaga
kemasyarakatan (Widyosiswoyo,1996 dalam Surajio, 2010:138).
Unsur kebudayaan dalam KBBI berarti
bagian suatu kebudayaan yang dapat digunakan sebagai satuan analisis tertentu.
Dengan adanya unsure tersebut, kebudayaan di sini lebih mengadung makna
totalitas dari sekedar penjumlahan unsir-unsur yang terdapat di dalamnya. Oleh
karna itu, dikenal adanya unsure-unsur yang universal yang melahirkan kebudayaan
universal. Menurut C. Kluckhohn ada tujuh unsure dalam kebudayaan universal,
yaitu system religi dan upacara keagamaan, system organisasi kemasyarakatan,
system pengetahuan system mata pencarian hidup, system teknologi dan peralatan,
bahasa, serta kesenian (Widyosiswoyo,1996 dalam Surajiyo, 2010:138-139).
Pengaruh
Timbal Balik Antara Ilmu Dan Kebudayaan
Ilmu adalah bagian dari pengetahuan.
Untuk mendapatkan ilmu diperlukan cara-cara tertentu, ialah adanya suatu metode
dan mempergunakan system, mempunyai objek formal dan objek material. Karena
pengetahuan adalah unsure dari kebudayaan, maka ilmu yang merupakan dari
pengetahuan dengan sendirinya juga merupakan salah satu unsure kebudayaan
(Asdi, 1991 dalam Surajiyo, 2010:140).
Kecuali ilmu merupakan unsur dari
kebudayaan, anatara ilmu dan kebudayaan ada hubungan timbal balik. Perkembangan
ilmu tergantung pada perkembangan kebudayaan, sedangakan perkembangan ilmu
dapat memberikan pengaruh pada kebudayaan. Keadaan social dan kebudayaan,
saling tergantung dan saling mendukung. Pada beberapa kebudayaan, ilmu dapat
berkembang subur. Di sini ilmu mempunyai perana ganda, yakni :
1) Ilmu
merupakan sumber nilai yang mendukung pengembangan kebudayaan.
2) Ilmu
merupakan sumber nilai yang mengisi pembetukan watak bangsa (Materi Dasar
Pendidikan Program Akta Mengajar V, hlm. 141 dalam Surajiyo, 2010:140).
Peranan Ilmu Terhadap
Pengembangan Kebudayaan Nasional
Untuk memahami bagaimana peranan Ilmu
terhadap pengembanga kebudayaan nasional perlu diketahui dahulu tentang pengertian
kebudayaan nasional, kebudayaan nasional dan manusia Indonesia, dan peranan
ilmu terhadap kebudayaan nasional.
Pengertian
Kebudayaan Nasional
Di dalam KBBI istilah kebudayaan
diartikan sebagai: a) hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia
seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat, dan b) keseluruan pengetahuan
manusia sebagai mahluk social yang digunakan untuk memahami lingkungan serta
pengelammanya yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Sedangkan kebudayaan
nasional diartikan sebagai kebudayaan yang dianut oleh semua warga dalam suatu
Negara. Artinya, keseluruhan cara hidup, cara perpikir, dan pandangan hidup
suatu bangsa yang terekspresi dalam seluruh segi kehidupanya dalam ruang dan
waktu tertentu.
Menurut Notosusanto, kebudayaan nasional
adalah kebudayaan daerah dan kebudayaan kesatuan. Bagi bangsa kita, kesadaran
kearah perwujudan kebudayaan nasional berakar dalam pengalaman historis bangsa
kita, yakni kesadaran akan persamaan nasib, kesatuan, yang mencapai puncaknya
pada tanggal 17 Agustus 1945. Sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober
1928merupakan cerminan kesadaran nasional yang pada dasarnya bersumber pada
kesadaran akan persamaan kebudayaan (Maran, 2000 dalam Surajiyo, 2010: 141)
Dengan rumusan lain dapat dikatakan bahwa
kebudayaan nasional adalah paduan seluruh lapisan kebudayaan bangsa Indonesia,
yang mencerminkan semua aspek perikehidupan bangsa. Dari pendapat di atas
secara sederhana kebudayaan nasional sebagai puncak kebudayaan daerah. Oleh
karena itu, unsure-unsur kebudayaan seperti bahasa, kesenian, agama, dan adat
istiadat dari pelbagai kehidupan bangsa di dalam wilayah nusantara hendaknya
dilestarikan dan diangkat menjadi unsure-unsur kebudayaan nasional.
Kebudayaan
Nasional Dan Manusia Indonesia
Masyarakat Indonesia yang maju dan
mandiri, yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 hanya mungkin
terwujud bila seluruh upaya pembangunan nasional berpijak pada landasan budaya
yang dinamis. Dinamis atau tidaknya kebudayaan nasional akan tampak dari mampu
atau tidaknya kebudayaan tersebut merangsang pertumbuhan serta perkembangan
serta kekuatan aktif kreatif yang dimiliki manusia dan masyarakat Indonesia.
Jadi yang dibutuhkan adalah suatu ruang kebudayaan yang memungkinkan manusia
Indonesia secara bebas mengekspresikan atau mengaktualisasikan diri dalam
pelbagai bentuk. Dengan demikian kebudayaan nasional hendaknya menjadi ruang
bagi manusia Indonesia untuk berprasangka atau mengambil inisiatif, untuk
menyatakan pendapat baik secara lisan maupun tertulis, untuk berkreasi dalam
pelbagai bidang kehidupan, khususnya dalam bidang ilmu dan teknologi modern
yang merupakan syarat dasar bagi terwujudnya kemajuan dan kemaknuran.
Proses pembentukan kebudayaan modern
harus berdasar-pijak pada unsure-unsur budaya tradisional. Jika tidak, cepat
atau lambat, kita akan kehilangan jati diri sebagai warga Indonesia. Kebudayaan
nasional moderen bukan lah suatu kebudayaan yang lain sama sekali, yang
dicangkokkan dari luar pada tubuh kebudayaan tradisional yang selama ini
menjadi dasar kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Kebudayaan nasional modern
haruslah merupakan hasil kreatif antara berbagai unsur kebudayaan modern
seperti ilmu dan teknologi dengan unsure-unsur kebudayaan tradisional seperti
sebi, bahasa, agama, dan arsitektur tradisional. Maka suatu proses dialektis
yang bersifat kreatif sangat diperlukan agar arah perkembangan kebudayaan
nasional tidak melenceng dari tujuan sesungguhnya, yakni memberikan indentitas
keindonesian pada diri setiap manusia Indonesia sekaligus sebagai tali perekat
persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia yang bersifat makjmuk. Pentingnya
makna kebudayaan nasional di sini sebagai factor yang dapat mencegah menajamnya
polarisasi kebudayaan ke dalam berbagai komunitas, yang justru bisa membahayakan
persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk itu kejelasan sosok dan identitas
kebudayaan nasional merupakan suatu keharusan. Dengan demikian, kebudayaan
nasional dapat diharapkan menjadi kerangka referensi bagi setiap manusia
Indonesia dalam mengidentifikasikan dirinya (Maran, 2000 dalam surajiyo, 2010:
141-142).
Peranan
Ilmu terhadap Kebudayaan Nasional
Pengembangan kebudayaan nasional pada
hakikatnya adalah perubahan dari kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional
ke arah situasi kebudayaan yang lebih mencerminkan aspirasi tujuan nasional.
Langkah-langkah yang sistematik menurut Endang Daruni Asdi (1991) adalah
sebagai berikut:
1) Ilmu
dan kegiatan keilmuan disesuaikan dengan kebudayaan yang ada dalam masyarakat
kita, dengan pendekatan yang edukatif dan persuatif dan menghindari
konflik-konflik, bertitik tolak dari reinterpretasi nilai yang ada dalam
argumentasi keilmuan.
2) Menghindari
scientisme dan pendasaran terhadap
akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
3) Meningkatkan
integritas ilmuwan dan lembaga keilmuan, dan melaksanakan dengan konsekuen
kaidah moral kegiatan keilmuan.
4) Pendidikan
keilmuan sekaligus dikaitkan dengan pendidikan moral. Etika dalam kegiatan keilmuan
mempunyai kaidah imperative.
5) Pengembangan
ilmu disertai pengembangan bidang filsafat. Filsafat ilmu hendaknya diberikan
di Pendidikan Tinggi. Walaupun demikian kegiatan ilmiah tidak berarti lepas
dari control pemerintah dan control masyarakat (Surajiyo, 2010:142-143).
Strategi Kebudayaan
Strategi kebudayaan merupakan upaya
bagaimana menangani kebudayaan khususnya di Indonesia yang beragam budaya.
Untuk mengetahui hal tersebut perlu diketahui lebih dahulu apa sebenarnya
fungsi kebudayaan nasional, kemudian bagaimana strategi kebudayaan dari para
ahli budaya di Indonesia.
Fungsi
Kebudayaan Nasional
Kebudayaan nasional mempunyai dua fungsi
pokok, yaitu pertama, sebagai pedoman
dalam membina persatuan dan kesatuan bangsa bagi masyarakat majemuk Indonesia.
Dengan perkataan lain, fungsi pertama kebudayaan Indonesia adalah memperkuat
jati diri kita sebagai bangsa. Kedua,
sebagai pedoman dalam pengambilalihan dan pengembangan ilmu dan teknologi
modern.
Menurut Koendjaraningrat (dalam
Surajiyo, 2010:143) fungsi kebudayaan nasional adalah, pertama, sebagai system gagasan dan perlambang yang member
identitas kepada warga Negara Indonesia. Kedua,
sebagai system gagasan dan perlambang yang dapat dipakai oleh semua warga Indonesia
yang beraneka ragam untuk saling berkomunikasi. Maksudnya untuk memperkuat rasa
solidaritas.
Dari pendapat di atas tampak bahwa
kebudayaan nasional merupakan sarana peemberi identiras bangsa, wahana
komunikasi, dan penguat solidaritas, serta pedoman alih ilmu dan teknologi.
Agar kebudayaan nasional dapat berfungsi, sebagaimana terungkap di atas,
dibutuhkan system dan demokratisasi budaya, yakni suatu system yang mendukung
kebebasan dan otonomi manusia sertalembaga-lembaga social yang mengatur kehidupan
masyarakat. Melalui system demokratisasi budaya diharapkan akan tercipta
perluasan dan penyempurnaan kelembagaan social agar mampu menghadapi perubahan
dan peluasan lingkungan interaksi social. Peluasan intraksi social ini
berkaitan erat dengan rekayasa norma dan budaya nasional dan moderen untuk
menopang perluasan bentuk hubungan social baru yang kemudian dapat
dilembagakan. Untuk itu lembaga-lembaga kehidupan seperti religi, bahasa, seni,
politik, ekonomi, dan social, serta ilmu pengetahuan perlu didukung
pertumbuhanya (Maran 2000 dalam surajiyo, 2010:143).
Strategi
Kebudayaan di Indonesia
Menurut Sutan Takdir Alisyahbana,
kebeudayaan Indonesia yang disebutkan kebudayaan Indonesia raya harus
diciptakan sebagai sesuatu yang mengambil banyak unsure dari kebudayaan barat.
Unsure tersebut antara lain adalah teknologi, oreontasi ekonomi, keterampilan
berorganisasi, dan ilmu pengetahuan. Adapun Sanusipani berpendapat bahwa
kebudayaan nasional Indonesia sebagai kebudayaan timur harus mementingkan
kerohanian, perasaan, dan gotong rong. Oleh karna itu, manusia Indonesia tidak
boleh melupakan sejarahnya (Widyosiswoyo, 1996 dalam Surajiyo, 2010:144).
Untuk dapat menciptakan kebudayaan
nasional Indonesia sebagai kegiatan dan proses demi kejayaan bangsa dan Negara
diperlukan adanya sterategi yang tanggu. Menurut Slamet Sustresno ada lima
masalah yakni sebagai berikut: (1) akulturasi, (2) progresivitas berarti maju,
(3) system pendidikan di Indonesia harus mampu menanamkan kebudayaan social, (4)
kebijaksanaan bahasa nasional, (5) sosialisasi pancasila sebagai dasar Negara
melalui pendidikan moral Pancasila disekolah dasar menengah, dan mata kuliah
pancasilah di perguruan tinggi.
Selain kelima langkah di atas perlu
satu langkah lagi yang elensial, yakni mengikuti rakyat sebab rakyat yang
merupakan sumberkekuatan, rakyat merupakan pendukung kebudayaan, dan untuk
rakyat juga semua ini dilakukan. Dari kehidupan rakyatlah dapat diperoleh
sumber budaya atau ilham bagi pencipta kebudayaan sehingga kebudayaan yang
diciptakan dapt mengakar pada rakyat. Dengan rakyat sebagai pendukung budaya,
kebudayaan dapat lebih lestari dalam kehidupan masyarakat.
Strategi pengembangan
Ilmu di Indonesia
Muncul persoalan sejauhmana Pancasila
sebagai paradigma pembangunan khususnya dalam pengembangan ilmu pengetahun dan
teknologi. Untuk menjawab persoalan ini maka kajianya tentu menyentu secara
filosofis, yakni berawal dari pengertian paradigma, pengertian ilmu, kemudian
mengenai landasan ontologis, epistimonologis, axiologis dan antropologis
Pancasilah dan bahasan terahir masalah Pancasilah sebagai para dikma
pengembangan ilmu pngetahuan dan teknologi.
Pengertian
Paradigma
Paradigma menurut Tomas S. Kuhn (dalam
Surajiyo, 2010:157) adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoritis yang umum
(merupakan suatu sumber nilai), sehingga menjadi sumber hukum, metode, serta
penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta
karakter ilmu pengetahuan itu sendiri. Perkembangan atau kemajuan ilmiah
bersifat revolusianer, bukan komulatif sebagai mana aggapan sebelumnya.
Revolusi ilmiah itu pertama-tama menyentu wilayah paradigma, cara pandang
terhadap dunia dan contoh prestasi atau praktik ilmiah konkrit. Cara kerja
paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah dapat digambarkan kedalam tahap-tahap
berikut.
Tahap
pertama, paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktivitas
ilmiah dalam masa ilmu normal (normal
science). Di sini para ilmuan kesempatan menyabarkan dan mengembangkan
paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam.
Dalam tahap ini para ilmuan tidak bersifat kritis terhadap paradigma yang
membimbing aktifitas ilmiahnya. Selama menjalankan aktivitas ilmiahnya para
ilmuan menjumpaii berbagai fenomona yang tidak dapat diterangkan dengan
pardigma yang digunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya, ini
dinamakan anomaly. Anomaly adalah suatu keadaan yang
memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena) dengan
paradigma yang dipakai.
Tahap
kedua, menumpuknya anomaly menimbulkan krisis kepercayaan
dari para ilmuan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan
dipertanyakan. Para ilmuan mulai keluar dari jalur ilmu normal.
Tahap
ketiga, para ilmuan bisa kembali lagi pada cara-cara
ilmiah yang sama dengan memperluas dan memperkemabangkan suatu paradigma
tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktivitas
ilmiah berikutnya. Proses peralian dari paradigma lama ke paradigma baru ini
dinamakan revolusi ilmiah (Rizal Mustanyir, dkk, 2001 dalam Surajiyo 2010:157).
PARADIGMA
Dalam Masa
Normal Science
ANOMALI
PARADIGMA BARU
Revolusi Ilmiah
(bagan 1.2 Surajiyo, 2010:158)
Istilah ilmiah
paradigma berkembang dalam berbagai bidangai bidang kehidupan manusia serta
ilmu pengetahuaan lain misalnya politik, hukum, ekonomi, budaya, serta bidang
lainnya. Dalam masalah yang popular istilah paradigma berkembang menjadi
termonologi yang mengandung konotasi pengertian sumber nilai, karangka pikiran,
orentasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan,
perubahan, serta proses dalam suatu bidang tertentu termasuk bidan pembangunan,
reformasi maupun dalam pendidikan. (Kaelan, 2000 dalam Surajiyo, 2010:158)
Landasan
Otologis, Epistemologis, Axiologis, Dan Antropologis Pancasila
Landasan Otologis dimaksud untuk
mengungkapkan jenis keberadaan yang diterapkan pada Pancasila. Landasan
epistomologis dimaksudkan untuk mengungkapkan sumber pengetahuan dan kebenaran
tentang pancasila sebagai system filsafat dan ideology. Landasan aksiologis
dimaksud untuk memgungkapkan jenis nilai dasar yang terkandung dalam pancasila.
Landasan antropologis dimaksudkan untuk mengungkapkan hakikat manusia dalam
rangka pengembangan system filsafat pancasila.
Pertama,
landasan Ontologis pancasila. Menurut Damardjati Supadjar, dkk, 1996 ( dalam
Surajiyo, 2010:158-159) pandangan ontology dari pancasila adalah Tuhan,
manusia, satu, rakyat, dan adil. Tuhan adalah sebab pertama dari segala
sesuatu, yang Esa dan segala sesuatu tergantung pada-Nya. Manusia memiliki
susunan hakikat pribadi yang monopluralis, yakni bertubuh-berjiwa, bersifat
individu-makhluk social, berkedudukan sebagai pribadi berdiri sendiri-makhluk
Tuhan yang menimbulkan kebutuhan kejiwaan dan religious, yang seharusnya
dipelihara dengan baik dalam kesatuan yang seimbang, harmonis dan dinamis. Satu
secara mutlak tidak dapat terbagi, rakyat adalah keseluruhan semua orang, warga
dalam lingkungan daerah atau lingkungan tertentu. Hakikat rakyat adalah pilar Negara
dan yang berdaulat. Adil ialah dipenuhinya segala sesuatu yang merupakan hak
dalam hubungan hidup kemanusiaan yang mencakup hubungan antara Negara dan warga
Negara, dan hubungan antar sesame warga Negara.
Kedua,
landasan epistemologis pancasila. Sumber dalam Epistemologis ada dua aliran,
yakni emperisme dan rasionalisme. Pengetahuan empiris pancasila bahwa pancasila
merupakan cerminan dari masyarakat Indonesia pada saat kelahirannya digali dari
budaya bangsa Indonesia sendiri. Pengetahuan rasionalis pancasila bahwa
pancasila merupakan hasil perenungan yang mendalam dari tokoh-tokoh kenegaraan
Indonesia untuk mengarahkan kehidupan bangsa Indonesia dalam bernegara. Dengan
dasar perenungan dan pertimbangan akal, lima inti kehidupan manisia yakni
berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan
dengan tambahan ciri khas bangsa Indonesia menjadi sifat kolektif, dasar hidup
bangsa Indonesia dalam mencapai kehidupan yang dicita-citakan, sehingga
pancasila menjadi aksioma kehidupan bangsa Indonesia dalam bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Ketiga,
Landasan Aksiologis Pancasila. landasan aksiologis pancasila merujuk kepada
nilai-nilai dasar yang terdapat di dalam pembukuan UUD 1945. Nilai-nilai dasar
harus menjiwai, menghayati nilai intrumenya yang terdapat dalam intrumentalnya
yang terdapat di dalam dalam peraturan perundang-undanagnan berupa
Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang, pengaturan pengganti
undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah.
Jadi, aktualisasi nilai-nilai dasar tersebut konsektual dan konsisten dengan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keempat, Landasan Antropologi Pancasila.
Filsafat antropologis pancasila memandang manusia sebagai monupluralis. Menurut
(Notonegoro, 1975 dalam Surajiyo 2010:160) manusia sebagai monopluraris
demensi-demensinya dijabarkan sebagai berikut.(1) Susunan kodrat, manusia
terdiri atas jiwa yang terbagi menjadi beberapa unsure seperti akal, rasa, dan
karsa, raga terdiri atas benda mati, unsur hewan, dan unsure tumbuhan, (2) sifat
kodrat manusia mencakup sifat manusia
sebagai makluk individu dan makluk social, (3) kedudukan kodrat manusia
mencakup kedudukan manusia sebagai makluk berdiri sendiri dan makluk tuhan.
Dari susunan kodrat, sifat kodrat dan
kedudukan kodrat manusia tersebut, manusia dapat memelirarah hubungan dengan
tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesame manusia, dan dengan alam sekitarnya
secara serasi, selaras, dan seimbang. Aktualisasi nilai filsafat antropologis
pancasilah dalam pembangunan diformulasikan dalam konsep pembangunan manusia
seutuhnya.
Pancasila
Sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pembangunan nasional adalah upaya bangsa
untuk mencapai tujuan nasionalnya sebagaimana yang dinyatakan dalam Pembukaan
UUD 1945. Pada hakikatnya Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional
mengandung arti bahwa segala aspek pembangunan harus mencerminkan nilai-nilai
Pancasila. Negara dalam rangka mewujudkan tujuannya melalui pembangunan
nasional untuk mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dikembalikan pada
dasar-dasar hakikat Pancasila.
Dalam upaya manusia mawujudkan
kesejahteraan dan peningkatan harkat dan martabatnya maka manusia mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Pancasila telah memberikan dasar
nilai-nilai bagi pengembangan iptek demi kesejahteraan hidup manusia.
Pengembanga iptek sebagai hasil hasil budaya manusia harus didasarkan pada
moral ketuhanan dan kemanusiaan yang beradap. Oleh karena itu, pada hakikatnya
sila-sila Pancasila harus merupakan sumber nilai, kerangka pikir, serta basis
moralitas bagi pengembangan iptek.
Menurut Kaelan, 2000 (dalam Surajiyo,
2010: 161-163) bahwa Pancasila merupakan satu kesatuan dari sila-silanya harus
merupakan sumber nilai, kerangka berpikir serta asas moralitas bagi pembangunan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, sila-sila dalam Pancasila
menunjukkan system etika dalam pembangunan iptek, yakni:
1) Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, mengimplementasiakn ilmu pengetahuan, mencipta,
perimbangan antara rasional dan irrasional, antara akal, rasa, dan kehendak.
Sila pertama menempatkan manusia di alam semesta bukan sebagai pusatnya,
melainkan sebagai bagian yang sistematik dari alam yang diolahnya.
2) Sila
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap, memberikan dasar-dasar moralitas bahwa
manusia dalam mengembangkan iptek haruslah secara beradap. Pengembangan iptek
juga harus didasarkan pada hakikat tujuan demi kesejahteraan umat manusia. Iptek
harus dapat diabdikan untuk peningkatan harkat dan martabat manusia, bukan
menjadikan manusia sebagai makhluk yang angkuh dan sombong akibat dari
penggunaan iptek.
3) Sila
Persatuan Indonesia, memberikan kesadaran bangsa Indonesia bahwa rasa
nasionalisme bangsa Indonesia akibat dari sumbangan iptek, dengan iptek
persatuan dan kesatuan bangsa dapat terwujud dan terpelihara, persaudaraan dan
persahabatan antardaerah di berbagai daerah terjalin karena tidak lepas dari
factor kemajuan iptek.
4) Sila
Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyaratan/Perwakilan, mendasari pengembangan iptek secara demokratis.
Artinya setiap ilmuwan haruslah memiliki kebebasan untuk mengembangkan iptek.
Selain itu dalam pengembangan iptek setiap ilmuwan harus menghormati dan
menghargai kebebasan orang lain dan harus memiliki sikap yang terbuka untuk
dikritik, dikaji ulang maupun dibandingkan dengan penemuan teori lainnya.
5) Sila
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, kemajuan iptek harus dapat
menjaga keseimbangan keadilan dalam kehidupan kemanusiaan, yaitu keseimbangan
keadilan dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, manusia dengan Tuhannya,
manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat bangsa dan Negara, serta
manusia dengan alam lingkungannya.
Kedudukan Pancasila sebagai paradigma
pembangunan nasional menurut Syarbaini, 2003 (dalam Surajiyo, 2010: 162-163)
harus memperhatikan konsep berikut: (1) Pancasila harus menjadi kerangka
kognitif dalam identitas diri sebagai bangsa, (2) Pancasila sebagai landasan
pembangunan nasional, (3) Pancasila merupakan arah pembangunan nasional, (4) Pancasila merupakan etos pembangunan
nasional, (5) Pancasila sebagai moral pembangunan.
Visi
Ilmu di Indonesia
Visi adalah wawasan ke depan yang ingin
dicapai dalam kurun waktu tertentu. Visi bersifat intuitif yang menggerakkan
jiwa dan menggerakkan jiwa untuk berbuat. Visi tersebut merupakan sumber
inspirasi, motivasi, dan kreatifitas yang menggarahkan proses penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara menuju masa depan yang dicita-citakan.
Penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara diorientasikan kea rah
perwujudan visi tersebut karena pada hakikatnya hal itu merupakan penegasan
cita-cita bersama seluruh rakyat.
Bagi bangsa Indonesia strategi
pengembangan ilmu pengetahuan yang paling tepat menurut Wibisono, 1994 (dalam
Surajiyo, 2010:163) ada dua hal pokok, yaitu visi dan orientasi filosofisnya
diletakkan pada nilai-nilai Pancasila di dalam menghadapi masalah-masalah yang
harus dipecahkan sebagai data atau fakta objektif dalam satu kesatuan
integrative. Visi dan orientasi operasionalnya diletakkan pada dimensi-dimensi
berikut:
a. Teleogis,
dalam arti bahwa ilmu pengetahuan hanya sekedar sarana yang memang harus kita
pergunakan untuk mencapai suatu teleos
(tujuan), yaitu sebagaimana merupakan ideal kita untuk mewujudkan cita-cita
sebagaimana dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
b. Etis,
dalam arti bahwa ilmu pengetahuan harus kita operasionalisasikan untuk
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Manusia harus berada pada tempat yang
sentral. Sifat etis ini menuntut penerapan ilmu pengetahuan secar bertanggung
jawab.
c. Integral
atau Integratif, dalam arti bahwa penerapan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan
kualitas manusia, sekaligus juga diarahkan untuk meningkatkan kualitas struktur
masyarakatnya, sebab manusia selalu hidup dalam relasi baik dengan sesame
maupun dengan masyarakat yang menjadi ajangnya. Peningkatan kualitas manusia
harus terintegrasikan ke dalam masyarakat yang juga harus ditingkatkan kualitas
strukturnya.
Dengan ilmu di atas perlu refleksi
anjuran-anjuran bagaimana membangun pemikiran ilmiah di Indonesia Jacob (dalam
Surajiyo, 2010:163) mengajurkan bahwa dalam rangka mengimbangi perkembangan
iptek yang cenderung mengancam otonomi manusia, para ilmuwan selayaknya jika
memperhatikan agama, etika, filsafat, dan sejarah ilmu. Mintaredja (dalam
Surajiyo, 2010:164) juga menyarankan agar ilmu dapat leih aktif dan mampu
berfungsi sebagaimana mestinya, hal-hal dasar yang perlu diperhatikan antara
lain:
1) Ilmu
harus mampu mempunyai kebudayaanmasyarakat karena dengan memperhatikan
kebudayaan masyarakat, ilmu dapat berkembang persis seperti yang diharapkan
masyarakat.
2) Adanya
keinsyafan tidak selalu kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya untuk memperoleh kebenaran.
3) Pendidikan
moral (etika) dan etika Pancasila serta moral keagamaan syarat mutlak bagi
moral para ilmuan agar memiliki etika professional yang seimbang.
4) Perlu
pendidikan filsafat , khususnya pendidikan filsafat ilmu atau epistemology bagi
Pendidikan Tinggi.
KAJIAN PUSTAKA
Surajiyo.
2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya
di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Suhartono,
Suparlan. 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Jogjakarta: Arruz Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar