Sabtu, 14 Februari 2015

MAKALAH FILSAFAT ILMU

PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DI INDONESIA
(Untuk Memenuhi Tugas Akhir Filsafat Ilmu)

TUGAS INDIVIDU

Mata Kuliah              : Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu      : Prof. Dr. H. M. Bashori, M. Msi

Oleh:
Vika Khulla Mahbubah
21402071009




UNIVERSITAS ISLAM MALANG
FAKULTAS PASCASARJANA
PRODI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
FEBRUARI 2015
LATAR BELAKANG
Pancasila digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri, sehingga Pancasila mempunyai fungsi dan peranan yang sangat luas dalam kehidupan bermasyarat, berbangsa, dan bernegara. Fungsi dan peranan itu terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Itulah sebabnya, Pancasila memiliki berbagai predikat sebagai sebutan nama yang menggambarkan fungsi dan peranannya.
Fungsi dan peranan Pancasila oleh PB7 Pusat, 1993 (dalam Surajiyo, 2010) diuraikan mulai dari yang abstrak sampai yang kongret menjadi sepuluh, yakni Pancasila sebagai jiwa bangsa, Pancasila sebagai sebagai kepribadian bangsa Indonesia, Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia, Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, pancasila sebagai perjanjian luhur, Pancasila sebagai pandangan hidup yang mempersatukan bangsa Indonesia, Pancasila sebagai cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia, Pancasila sebagai satu-satunya asa dalam kehidupan bermasyarakt berbangsa dan bernegara, Pancasila sebagai moral Pembangunan dan Pembangaunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.
Pancasila sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasr Negara dari Negara Kesatuaan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehipan bernegara. Tujuan nasional sebagai mana ditegaskan dalam Pembukaan UUD1945 diwujukkan melalui pelaksanaan penyenggaraan Negara yang berkedaulatan rakyat dan demokratis denga menutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Penyenggaraan Negara dilaksanakan melalui pembangunan nasional dalam segalah aspek kehidupan bangsa, oleh penyenggara Negara, bersama-sama segenap rakyat Indonesia diseluh wilayah Negara Republik Indonesia.
Pembangunan nasional merupakan usaha penningkatan kualitas manusia dan manyarakat Indonesia yangdilakukan secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan nasional, dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Dalam pelaksanaanya mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai-nilai luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahterah, maju, dan kukuh kekuatan moral dan etikanya (Surajiyo, 2010:156-157).

PEMBAHASAN     
Definisi Ilmu Pengetahuan
Menurut Webster (dalam Suhartono, 2008:64) bahwa pengetahuan menjelaskan tentang adanya suatu hal yang diperoleh secara biasa atau sehari-hari (regularly) melalui pengalaman-pengalaman, kesadaran, informasi, dan sebagainya. Sedangkan ilmu, di dalamnya terkandung pengetahuan yang pasti, lebih praktis, sistematis, metodik, ilmiah dan mencakup kebenaran umum mengenai objek studi yang lebih bersifat fisis (natural).
Sejalan dengan pendapat di atas (Surajiyo, 2010:26) menyebutkan bahwa pengetahuan adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menuturkan apabila seseorang mengenal tentang sesuatu. Suatu hal yang menjadi pengetahuannya adalah selalu terdiri atas unsure yang mengetahui dan diketahui serta kesadaran mengenai hal yang ingin diketahuinya. Jadi bisa dikatakan pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek yang dihadapinya, atau hasil usaha manusia untuk memaahami suatu objek tertentu. Sedangkan ilmu menurut The Liang Gie 1987 (dalam Surajiyo, 2010:56) ilmu adalah rangkaian aktifitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empitis mengenai dunia inidalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.
                                    Aktivitas
Ilmu
                        Metode                                    pengetahuan 
Bagan 1.1 (Surajiyo, 2010:56)
            Dalam bagan tersebut memperlihatkan bahwa ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Baik ilmu maupun pengetahuan adalah sama pentingnya dalam hidup dan kehidupan manusia. Ilmu membentuk daya intelegensia yang melahirkan adanya skiil atau keterampilan yang bisa mengonsumsi masalah-masalah atau kebutuhan keseharian (termasuk tujuan langsung). Sedangkan pengetahuan, membentuk daya moralitas keilmuan yang kemudian melahirkan tingkah laku dan perbuatan yang berkaitan dengan masalah-masalah yang tercakup ditujuan akhir kehidupan manusia (tujuan tak langsung) (Suhartono, 2008:64).
            Ilmu sebagai aktivitas ilmiah dapat berwujud penelaahan (study), penyelidikan (inquiry), usaha menemukan (attempt to find) atau pencarian (search). Oleh karena itu, pencarian biasanya dilakukan berulang kali, maka dalam dunia ilmu kini dipergunakan istilah research (penelitian) untuk aktivitas ilmiah yang paling berbobot guna menemukan pengetahuan baru. Metode ilmiah merupakan procedural yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau memperkembangkan pengetahuan yang ada (Surajiyo, 2010:56).
Metode yang berkaitan dengan pola procedural meliputi pengamatan, percobaan, pengukuran, survey, deduksi, induksi, analisis, dan lain-lain. Berkaitan dengan tata langkah meliputi penentuan masalah, perumusan hipotesis (bila perlu), pengumpulan data, penurunan kesimpulan, dan pengujian hasil. Sedangkan yang berkaitan dengan berbagai teknik meliputi daftar pertanyaan, wawancara, perhitungan, pemanasan dll. Dan yang terakhir, yang berkaitan dengan aneka alat, meliputi timbangan, meteran, perapian, computer, dan lain-lain.
Dari aktivitas ilmiah dengan metode ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuan dapatlah dihimpun sekumpulan pengetahuan yang baru atau disempurnakakan pengetahuan yang telah ada, sehingga dikalangan ilmuan maupun para filsuf pada umumnya terdapat kesepakatan bahwa ilmu adalah sekumpulan pengetahuan yang sistematis. Adapun menurut Bahm (dalam Surajiyo, 2010:57) definisi ilmu pengetahuan melibatkan paling tidak enam macam komponen, yaitu masalah (problem), sikap (attitude), metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclution), dan pengaruh (effects).
Ciri-Ciri Ilmu Pengetahuan
Ciri persoalan pengetahuan ilmiah antara lain adalah persoala dalam ilmu itu penting untuk segera dipecahkan dengan maksuduntuk memperoleh jawaban. Dalam hal ini memang ilmu muncul dari adanya problema itu telah diketahuinya sebagai suatu persoalan yang tidak terselesaikan dalam pengetahuan sehari-harinya. Disamping itu, setiap ilmu dapat memecahkan masalah sehingga mencapai suatu kejelasan serta kebenaran, walaupun bukan kebenaran akhir yang abadi dan mutlak. Kemudian bahwa setiap jawaban dalam masalah ilmu yang telah berupa kebenaran harus dapat diuji oleh orang lain. Pengujiannya baik dalam pembenaran atau penyangkalan. Hal ini juga bahwa setiap masalah dalam ilmu harus dapat dijawab dengan cara penelaahan dan penelitian keilmuan yang seksama, sehingga dapat dijelaskan dan didefinisikan (Surajiyo, 2010:58).
Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah menurut The Liang Gie 1987 (dalam Surajiyo, 2010:59) mempunyai 5 ciri pokok: (1) Empiris, pengetahuan diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan, (2) sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan yang teratur, (3) objektif, ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan atau kesukaan pribadi, (4) analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu, (5) verifikatif, dapat diperiksa oleh siapapun juga.
Adapun Joesoef 1987 (dalam Surajiyo, 2010:59) menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu pada tiga hal, yaitu produk, proses, dan masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk, yaitu pengetahuan yang telah diketahui dan diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmuan. Pengetahuan ilmiah dalam hal ini terbatas pada kenyataan-kenyataan yang mengandung kemungkinan untuk disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji, dan dibantah seseorang.
Ilmu pengetahuan sebagai proses artinya, kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan demi penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki. Metode ilmiah yang khas dipakai dalam proses ini adalah analisis-rasional, objektif, sejauh mungkin ‘impersonal’ dari masalah-masalah yang didasarkan pada percobaan dan data yang dapat diamati.
Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat artinya, dunia pergaulan yang tindak-tanduknya, prilaku dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat ketentuan yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih, dan skeptisisme yang teratur.
Van Melsen 1985 (dalam Surajiyo, 2010:59-60) mengemukakan ada delapan ciri yang menandai ilmu yaitu:
1)      Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu kesluruhan yang secara logis koheren. Itu berarti adanya system dalam penelitian (metode) maupun harus (susunan logis).
2)      Ilmu pengetahuan tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya dengan tanggung jawab ilmuan.
3)      Universalitas ilmu pengetahuan.
4)      Objektivitas, artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi oleh prasangka-prasangka subjektif.
5)      Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang bersangkutan, oleh karena itu ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan.
6)      Progresivitas, artinya suatujawaban ilmiah baru bersifat ilmiah sungguhsungguh, bila menggandung pertanyaan baru dan menimbulkan problem baru lagi.
7)      Kritis, artinya tidak ada teori yang definitive, setiap teori terbuka bagi suatu peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data baru.
8)      Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan kebertautan antara teori dengan praktis.
Menurut Kasmadi, dkk 1990 (dalam Surajiyo 2010:60) demi objektivitas ilmu, ilmuwan harus bekerja dengan cara ilmiah. Sifat ilmiah dalam ilmu dapat diwujudkan, jika dipenuhi syarat-syarat yang intinya adalah: (1) ilmu harus memiliki objek, (2) ilmu harus mempunyai metode, (3) ilmu harus sistematik, (4) ilmu bersifat universal.

Sekilas Tentang Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Pemikiran filsafat banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Namun pada dasarnya filsafat baik di Barat, India, Cina muncul dari yang sifatnya religious. Di Yunani dengan mitosnya, di India dengan kitabnya Weda (agama Hindu), dan di Cina dengan Cofusiusnya. Di Barat mitos dapat lenyap sama sekali dan rasio yang menonjol, sedangkan di India filsafat tidak akan bisa lepas dengan induknya dalam hal ini agama Hindu. Pembagian secara periodisasi filsafat Barat adalah zaman Kuno, zaman Abad Pertengahan, zaman Modern, dan Masa Kini. Aliran yang muncul dan berpengaruh terhadap pemikiran filsafat adalah Positifisme, Marxisme, Eksistensialisme, Fenomenologi, Pragmatisme, dan Neo-Kantianianisme, dan Neo-tomisme. Pembagian secara periodesasi filsafat Cina adalah zaman Kuno, zaman Pembaruan, zaman Neo-konfusionisme, dan Zamaan Modern. Tema yang pokok di fisafat Cina adalah masalah perikemanusiaan (jen). Pembagian cecara periodesasi filsafat India adalah periode Weda, Wiracarita, Sutra-sutra, dan Skolastik. Dalam filsafat India yang penting adalah bagaimana manusia bisa berteman dengan dunia bukan untuk menguasai dunia. Adapun dalam filsafat Islam hanya ada dua periode, yaitu periode Mutakallimin dan periode filsafat Islam (Sujiyono, 2010: 79).
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradapan manusia karena pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir manusia dari mite-mite menjadi lebih rasional. Pola pikir mite-mite adalah pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumu dan pelangi. Gempa bumi tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi sedang menggoyangkan kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas Dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara kausalitas. Perubahan pola piker tersebut kelihatannya sederhana, tetapi implikasinya tidak sederhana karena selama ini alam ditakuti dan dijauhi kemudian didekati bahkan dieksploitasi.  Manusia yang dahulunya pasif menghadapi fenomena alam menjadi lebih proaktif dan kreatif, sehingga alam dijadikan objek penelitian dan pengkajian. Dari proses inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat, yang akhirnya kita nikmati dalam bentuk teknologi. Karena itu, periode perkembangan filsafat Yunani merupakan poin untuk memasuki peradapan baru umat manusia.
Jadi, perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan secara bertahap, evolutif. Karena untuk memahami sejarah perkembangan ilmu mau tidak mau harus melakukan pembagian , atau klarifikasi secara periodic, karena setiap periode menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu pada peradapan Yunani.
Ilmu Dan Masyarakat
Pada masa lampau kedudukan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari belum dapat dirasakan. Ilmu sama sekali tidak memberikan pengaruhnya terhadap masyarakat. Ungkapan Aristoteles tentang ilmu “umat manusia menjamin urusannya untuk hidup sehari-hari, barulah ia arahkan pengetahuannya kepada ilmu pengetahuan’ Van Melsen 1987 (dalam Surajiyo, 2010:137).
Bagi manusia, kebenaran universal merupakan suatu kebutuhan yang amat berguna. Adapun kegunaannya adalah untuk memperluas pandangan atau wawasan yang kemudian dapat membentuk suatu pandangan hidup atau filsafat hidup. Dengan filsafat hidup, manusia dapat memahami arti dirinya (substansi), sehingga ia dapat menempatkan keberadaannya (eksistensi) dalam hidup dan kehidupannya. Dengan adanya tujuan hidup inilah manusia menciptakan pedoman hidup, sikap hidup, cara hidup, dan tingkah laku hidup sehari-hari.
Akan tetapi filsafat hidup itu justru sering kali berbenturan dengan realitas kehidupan sehari-hari. ‘menolong’ orang lain adalah suatu bentuk filsafat hidup yang baik. Tetapi, tidak semua prilaku menolong itu bisa membuahkan kebaikan. Karena bisa saja menolong justru mengembangkan sifat pemalas. Kiranya, penerapan filsafat hidup harus mempertimbangkan ketetapan sasaran objek.  Menolong orang ;lain haruslah mempertimbangkan secara bijak,  apakah oranag lain itu memang memerlukan pertolongan atau tidak. Jadi,pada penerapan filsafat hidup seharusnya mempertimbangkan refelansinya dengan keadaan nyata, yakni harus da hubungan kausal (Suhartono, 2008:91-92).
Dewasa ini ilmu sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari, seolah-olah manusia sekarang tidak dapat hidup tanpa ilmu pengetahuan. Kebutuhan manusia yang paling sederhana pun sekarang memerlukan ilmu, misalnya kebutuhan pangan, sandang dan papan, sangat tergantung dengan ilmu, meski yang paling sederhana pun. Maka kegiatan ilmiah dewasa ini berdasarkan pada dua keyakinan berikut:
1)      Segala sesuatu dalam realitas dapat diselidiki secara ilmiah, bukan saja untuk mengerti sealitas yang lebih baik, melainkan juga untuk menguasainy lebih mendalam menurus segala aspeknya.
2)      Semua aspek realitas membutuhkan juga penyelidikan primer, seperti air, udara, cahaya, kehangatan da tempat tinggal tidak akan cukup tanpa penyelidikan itu, Van Melsen 1987 (dalam Surajiyo, 2010:137).
Dengan demikian, ilmu mengalami fungsi yang berubah secara radikal, dari tidak berguna sama sekali dalam kehidupan praktis menjadi “tempat tergantung” kehidupan manusia. Penemuan-penemuan secara empiris memberikan kemungkinan baru, yang ternyata ada gunanya dalam praktis. Ilmu yang semula rasional-empiris menjadi rasional-eksperimental. Dengan demikian, ilmu mempunyai akibat yakni berguna dalam kehidupan masyarakat.
Pengertian Dan Unsur-Unsur Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari kata Sansakerta buddayah, yaitu bentuk jamak dari buddi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan bisa diartikan hal-hal yng bersangkutan dengan akal. Ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk bidi-daya, yang berarti daya dari budi. Oleh karena itu, mereka mereka membedakan budaya dari kebudayaan. Demikian budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa itu. (Koentjaraningrat, 1986 dalam Surajiyo, 2010:137-138).
Sejalan dengan pendapat di atas Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir sehingga menurutnya pola kebudayaan itu sangat luas sebab semua laku dan perbuatan tercakup didalamnya dan dapat diungkapkan pada basis cara berpikir termasuk di dalamnya perasaan, karena perasaan juga merupakan maksud dari pikiran. Sedangkan menurut Malinowski menyebutkan bahwa kebudayaan pada prinsipnya berdasarkan atasas berbagai system kebutuhan manusia. Tiap tingkat kebutuhan itu menghadirkan corak budaya yang khas. Misalnya guna memenuhi kebutuhan manusia akan keselamatanya maka timbul kebudayaan yang berupa perlindungan, yakni seperangkat budaya dalam bentuk tertentu,seperti lembaga kemasyarakatan (Widyosiswoyo,1996 dalam Surajio, 2010:138).
Unsur kebudayaan dalam KBBI berarti bagian suatu kebudayaan yang dapat digunakan sebagai satuan analisis tertentu. Dengan adanya unsure tersebut, kebudayaan di sini lebih mengadung makna totalitas dari sekedar penjumlahan unsir-unsur yang terdapat di dalamnya. Oleh karna itu, dikenal adanya unsure-unsur yang universal yang melahirkan kebudayaan universal. Menurut C. Kluckhohn ada tujuh unsure dalam kebudayaan universal, yaitu system religi dan upacara keagamaan, system organisasi kemasyarakatan, system pengetahuan system mata pencarian hidup, system teknologi dan peralatan, bahasa, serta kesenian (Widyosiswoyo,1996 dalam Surajiyo, 2010:138-139). 
Pengaruh Timbal Balik Antara Ilmu Dan Kebudayaan
Ilmu adalah bagian dari pengetahuan. Untuk mendapatkan ilmu diperlukan cara-cara tertentu, ialah adanya suatu metode dan mempergunakan system, mempunyai objek formal dan objek material. Karena pengetahuan adalah unsure dari kebudayaan, maka ilmu yang merupakan dari pengetahuan dengan sendirinya juga merupakan salah satu unsure kebudayaan (Asdi, 1991 dalam Surajiyo, 2010:140).
Kecuali ilmu merupakan unsur dari kebudayaan, anatara ilmu dan kebudayaan ada hubungan timbal balik. Perkembangan ilmu tergantung pada perkembangan kebudayaan, sedangakan perkembangan ilmu dapat memberikan pengaruh pada kebudayaan. Keadaan social dan kebudayaan, saling tergantung dan saling mendukung. Pada beberapa kebudayaan, ilmu dapat berkembang subur. Di sini ilmu mempunyai perana ganda, yakni :
1)      Ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung pengembangan kebudayaan.
2)      Ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembetukan watak bangsa (Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V, hlm. 141 dalam Surajiyo, 2010:140).

Peranan Ilmu Terhadap Pengembangan Kebudayaan Nasional
Untuk memahami bagaimana peranan Ilmu terhadap pengembanga kebudayaan nasional perlu diketahui dahulu tentang pengertian kebudayaan nasional, kebudayaan nasional dan manusia Indonesia, dan peranan ilmu terhadap kebudayaan nasional.
Pengertian Kebudayaan Nasional
Di dalam KBBI istilah kebudayaan diartikan sebagai: a) hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat, dan b) keseluruan pengetahuan manusia sebagai mahluk social yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengelammanya yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Sedangkan kebudayaan nasional diartikan sebagai kebudayaan yang dianut oleh semua warga dalam suatu Negara. Artinya, keseluruhan cara hidup, cara perpikir, dan pandangan hidup suatu bangsa yang terekspresi dalam seluruh segi kehidupanya dalam ruang dan waktu tertentu.  
Menurut Notosusanto, kebudayaan nasional adalah kebudayaan daerah dan kebudayaan kesatuan. Bagi bangsa kita, kesadaran kearah perwujudan kebudayaan nasional berakar dalam pengalaman historis bangsa kita, yakni kesadaran akan persamaan nasib, kesatuan, yang mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945. Sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928merupakan cerminan kesadaran nasional yang pada dasarnya bersumber pada kesadaran akan persamaan kebudayaan (Maran, 2000 dalam Surajiyo, 2010: 141)
Dengan rumusan lain dapat dikatakan bahwa kebudayaan nasional adalah paduan seluruh lapisan kebudayaan bangsa Indonesia, yang mencerminkan semua aspek perikehidupan bangsa. Dari pendapat di atas secara sederhana kebudayaan nasional sebagai puncak kebudayaan daerah. Oleh karena itu, unsure-unsur kebudayaan seperti bahasa, kesenian, agama, dan adat istiadat dari pelbagai kehidupan bangsa di dalam wilayah nusantara hendaknya dilestarikan dan diangkat menjadi unsure-unsur kebudayaan nasional.
Kebudayaan Nasional Dan Manusia Indonesia
Masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri, yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 hanya mungkin terwujud bila seluruh upaya pembangunan nasional berpijak pada landasan budaya yang dinamis. Dinamis atau tidaknya kebudayaan nasional akan tampak dari mampu atau tidaknya kebudayaan tersebut merangsang pertumbuhan serta perkembangan serta kekuatan aktif kreatif yang dimiliki manusia dan masyarakat Indonesia. Jadi yang dibutuhkan adalah suatu ruang kebudayaan yang memungkinkan manusia Indonesia secara bebas mengekspresikan atau mengaktualisasikan diri dalam pelbagai bentuk. Dengan demikian kebudayaan nasional hendaknya menjadi ruang bagi manusia Indonesia untuk berprasangka atau mengambil inisiatif, untuk menyatakan pendapat baik secara lisan maupun tertulis, untuk berkreasi dalam pelbagai bidang kehidupan, khususnya dalam bidang ilmu dan teknologi modern yang merupakan syarat dasar bagi terwujudnya kemajuan dan kemaknuran.
Proses pembentukan kebudayaan modern harus berdasar-pijak pada unsure-unsur budaya tradisional. Jika tidak, cepat atau lambat, kita akan kehilangan jati diri sebagai warga Indonesia. Kebudayaan nasional moderen bukan lah suatu kebudayaan yang lain sama sekali, yang dicangkokkan dari luar pada tubuh kebudayaan tradisional yang selama ini menjadi dasar kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Kebudayaan nasional modern haruslah merupakan hasil kreatif antara berbagai unsur kebudayaan modern seperti ilmu dan teknologi dengan unsure-unsur kebudayaan tradisional seperti sebi, bahasa, agama, dan arsitektur tradisional. Maka suatu proses dialektis yang bersifat kreatif sangat diperlukan agar arah perkembangan kebudayaan nasional tidak melenceng dari tujuan sesungguhnya, yakni memberikan indentitas keindonesian pada diri setiap manusia Indonesia sekaligus sebagai tali perekat persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia yang bersifat makjmuk. Pentingnya makna kebudayaan nasional di sini sebagai factor yang dapat mencegah menajamnya polarisasi kebudayaan ke dalam berbagai komunitas, yang justru bisa membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk itu kejelasan sosok dan identitas kebudayaan nasional merupakan suatu keharusan. Dengan demikian, kebudayaan nasional dapat diharapkan menjadi kerangka referensi bagi setiap manusia Indonesia dalam mengidentifikasikan dirinya (Maran, 2000 dalam surajiyo, 2010: 141-142).
Peranan Ilmu terhadap Kebudayaan Nasional
Pengembangan kebudayaan nasional pada hakikatnya adalah perubahan dari kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional ke arah situasi kebudayaan yang lebih mencerminkan aspirasi tujuan nasional. Langkah-langkah yang sistematik menurut Endang Daruni Asdi (1991) adalah sebagai berikut:
1)      Ilmu dan kegiatan keilmuan disesuaikan dengan kebudayaan yang ada dalam masyarakat kita, dengan pendekatan yang edukatif dan persuatif dan menghindari konflik-konflik, bertitik tolak dari reinterpretasi nilai yang ada dalam argumentasi keilmuan.
2)      Menghindari scientisme dan pendasaran terhadap akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
3)      Meningkatkan integritas ilmuwan dan lembaga keilmuan, dan melaksanakan dengan konsekuen kaidah moral kegiatan keilmuan.
4)      Pendidikan keilmuan sekaligus dikaitkan dengan pendidikan moral. Etika dalam kegiatan keilmuan mempunyai kaidah imperative.
5)      Pengembangan ilmu disertai pengembangan bidang filsafat. Filsafat ilmu hendaknya diberikan di Pendidikan Tinggi. Walaupun demikian kegiatan ilmiah tidak berarti lepas dari control pemerintah dan control masyarakat (Surajiyo, 2010:142-143).

Strategi Kebudayaan
Strategi kebudayaan merupakan upaya bagaimana menangani kebudayaan khususnya di Indonesia yang beragam budaya. Untuk mengetahui hal tersebut perlu diketahui lebih dahulu apa sebenarnya fungsi kebudayaan nasional, kemudian bagaimana strategi kebudayaan dari para ahli budaya di Indonesia.
Fungsi Kebudayaan Nasional
Kebudayaan nasional mempunyai dua fungsi pokok, yaitu pertama, sebagai pedoman dalam membina persatuan dan kesatuan bangsa bagi masyarakat majemuk Indonesia. Dengan perkataan lain, fungsi pertama kebudayaan Indonesia adalah memperkuat jati diri kita sebagai bangsa. Kedua, sebagai pedoman dalam pengambilalihan dan pengembangan ilmu dan teknologi modern.
Menurut Koendjaraningrat (dalam Surajiyo, 2010:143) fungsi kebudayaan nasional adalah, pertama, sebagai system gagasan dan perlambang yang member identitas kepada warga Negara Indonesia. Kedua, sebagai system gagasan dan perlambang yang dapat dipakai oleh semua warga Indonesia yang beraneka ragam untuk saling berkomunikasi. Maksudnya untuk memperkuat rasa solidaritas.
Dari pendapat di atas tampak bahwa kebudayaan nasional merupakan sarana peemberi identiras bangsa, wahana komunikasi, dan penguat solidaritas, serta pedoman alih ilmu dan teknologi. Agar kebudayaan nasional dapat berfungsi, sebagaimana terungkap di atas, dibutuhkan system dan demokratisasi budaya, yakni suatu system yang mendukung kebebasan dan otonomi manusia sertalembaga-lembaga social yang mengatur kehidupan masyarakat. Melalui system demokratisasi budaya diharapkan akan tercipta perluasan dan penyempurnaan kelembagaan social agar mampu menghadapi perubahan dan peluasan lingkungan interaksi social. Peluasan intraksi social ini berkaitan erat dengan rekayasa norma dan budaya nasional dan moderen untuk menopang perluasan bentuk hubungan social baru yang kemudian dapat dilembagakan. Untuk itu lembaga-lembaga kehidupan seperti religi, bahasa, seni, politik, ekonomi, dan social, serta ilmu pengetahuan perlu didukung pertumbuhanya (Maran 2000 dalam surajiyo, 2010:143).
Strategi Kebudayaan di Indonesia  
Menurut Sutan Takdir Alisyahbana, kebeudayaan Indonesia yang disebutkan kebudayaan Indonesia raya harus diciptakan sebagai sesuatu yang mengambil banyak unsure dari kebudayaan barat. Unsure tersebut antara lain adalah teknologi, oreontasi ekonomi, keterampilan berorganisasi, dan ilmu pengetahuan. Adapun Sanusipani berpendapat bahwa kebudayaan nasional Indonesia sebagai kebudayaan timur harus mementingkan kerohanian, perasaan, dan gotong rong. Oleh karna itu, manusia Indonesia tidak boleh melupakan sejarahnya (Widyosiswoyo, 1996 dalam Surajiyo, 2010:144).
Untuk dapat menciptakan kebudayaan nasional Indonesia sebagai kegiatan dan proses demi kejayaan bangsa dan Negara diperlukan adanya sterategi yang tanggu. Menurut Slamet Sustresno ada lima masalah yakni sebagai berikut: (1) akulturasi, (2) progresivitas berarti maju, (3) system pendidikan di Indonesia harus mampu menanamkan kebudayaan social, (4) kebijaksanaan bahasa nasional, (5) sosialisasi pancasila sebagai dasar Negara melalui pendidikan moral Pancasila disekolah dasar menengah, dan mata kuliah pancasilah di perguruan tinggi.
            Selain kelima langkah di atas perlu satu langkah lagi yang elensial, yakni mengikuti rakyat sebab rakyat yang merupakan sumberkekuatan, rakyat merupakan pendukung kebudayaan, dan untuk rakyat juga semua ini dilakukan. Dari kehidupan rakyatlah dapat diperoleh sumber budaya atau ilham bagi pencipta kebudayaan sehingga kebudayaan yang diciptakan dapt mengakar pada rakyat. Dengan rakyat sebagai pendukung budaya, kebudayaan dapat lebih lestari dalam kehidupan masyarakat.

Strategi pengembangan Ilmu di Indonesia
Muncul persoalan sejauhmana Pancasila sebagai paradigma pembangunan khususnya dalam pengembangan ilmu pengetahun dan teknologi. Untuk menjawab persoalan ini maka kajianya tentu menyentu secara filosofis, yakni berawal dari pengertian paradigma, pengertian ilmu, kemudian mengenai landasan ontologis, epistimonologis, axiologis dan antropologis Pancasilah dan bahasan terahir masalah Pancasilah sebagai para dikma pengembangan ilmu pngetahuan dan teknologi. 
Pengertian Paradigma
Paradigma menurut Tomas S. Kuhn (dalam Surajiyo, 2010:157) adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga menjadi sumber hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri. Perkembangan atau kemajuan ilmiah bersifat revolusianer, bukan komulatif sebagai mana aggapan sebelumnya. Revolusi ilmiah itu pertama-tama menyentu wilayah paradigma, cara pandang terhadap dunia dan contoh prestasi atau praktik ilmiah konkrit. Cara kerja paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah dapat digambarkan kedalam tahap-tahap berikut.
Tahap pertama, paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Di sini para ilmuan kesempatan menyabarkan dan mengembangkan paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini para ilmuan tidak bersifat kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiahnya. Selama menjalankan aktivitas ilmiahnya para ilmuan menjumpaii berbagai fenomona yang tidak dapat diterangkan dengan pardigma yang digunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya, ini dinamakan anomaly. Anomaly adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.
Tahap kedua, menumpuknya anomaly menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuan mulai keluar dari jalur ilmu normal.
Tahap ketiga, para ilmuan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang sama dengan memperluas dan memperkemabangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralian dari paradigma lama ke paradigma baru ini dinamakan revolusi ilmiah (Rizal Mustanyir, dkk, 2001 dalam Surajiyo 2010:157).
                        PARADIGMA
Dalam Masa Normal Science


           ANOMALI


PARADIGMA BARU
Revolusi Ilmiah
     (bagan 1.2 Surajiyo, 2010:158)

                Istilah ilmiah paradigma berkembang dalam berbagai bidangai bidang kehidupan manusia serta ilmu pengetahuaan lain misalnya politik, hukum, ekonomi, budaya, serta bidang lainnya. Dalam masalah yang popular istilah paradigma berkembang menjadi termonologi yang mengandung konotasi pengertian sumber nilai, karangka pikiran, orentasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan, serta proses dalam suatu bidang tertentu termasuk bidan pembangunan, reformasi maupun dalam pendidikan. (Kaelan, 2000 dalam Surajiyo, 2010:158)
Landasan Otologis, Epistemologis, Axiologis, Dan Antropologis Pancasila
Landasan Otologis dimaksud untuk mengungkapkan jenis keberadaan yang diterapkan pada Pancasila. Landasan epistomologis dimaksudkan untuk mengungkapkan sumber pengetahuan dan kebenaran tentang pancasila sebagai system filsafat dan ideology. Landasan aksiologis dimaksud untuk memgungkapkan jenis nilai dasar yang terkandung dalam pancasila. Landasan antropologis dimaksudkan untuk mengungkapkan hakikat manusia dalam rangka pengembangan system filsafat pancasila.
Pertama, landasan Ontologis pancasila. Menurut Damardjati Supadjar, dkk, 1996 ( dalam Surajiyo, 2010:158-159) pandangan ontology dari pancasila adalah Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil. Tuhan adalah sebab pertama dari segala sesuatu, yang Esa dan segala sesuatu tergantung pada-Nya. Manusia memiliki susunan hakikat pribadi yang monopluralis, yakni bertubuh-berjiwa, bersifat individu-makhluk social, berkedudukan sebagai pribadi berdiri sendiri-makhluk Tuhan yang menimbulkan kebutuhan kejiwaan dan religious, yang seharusnya dipelihara dengan baik dalam kesatuan yang seimbang, harmonis dan dinamis. Satu secara mutlak tidak dapat terbagi, rakyat adalah keseluruhan semua orang, warga dalam lingkungan daerah atau lingkungan tertentu. Hakikat rakyat adalah pilar Negara dan yang berdaulat. Adil ialah dipenuhinya segala sesuatu yang merupakan hak dalam hubungan hidup kemanusiaan yang mencakup hubungan antara Negara dan warga Negara, dan hubungan antar sesame warga Negara.
Kedua, landasan epistemologis pancasila. Sumber dalam Epistemologis ada dua aliran, yakni emperisme dan rasionalisme. Pengetahuan empiris pancasila bahwa pancasila merupakan cerminan dari masyarakat Indonesia pada saat kelahirannya digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri. Pengetahuan rasionalis pancasila bahwa pancasila merupakan hasil perenungan yang mendalam dari tokoh-tokoh kenegaraan Indonesia untuk mengarahkan kehidupan bangsa Indonesia dalam bernegara. Dengan dasar perenungan dan pertimbangan akal, lima inti kehidupan manisia yakni berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan dengan tambahan ciri khas bangsa Indonesia menjadi sifat kolektif, dasar hidup bangsa Indonesia dalam mencapai kehidupan yang dicita-citakan, sehingga pancasila menjadi aksioma kehidupan bangsa Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ketiga, Landasan Aksiologis Pancasila. landasan aksiologis pancasila merujuk kepada nilai-nilai dasar yang terdapat di dalam pembukuan UUD 1945. Nilai-nilai dasar harus menjiwai, menghayati nilai intrumenya yang terdapat dalam intrumentalnya yang terdapat di dalam dalam peraturan perundang-undanagnan berupa Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang, pengaturan pengganti undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah. Jadi, aktualisasi nilai-nilai dasar tersebut konsektual dan konsisten dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keempat, Landasan Antropologi Pancasila. Filsafat antropologis pancasila memandang manusia sebagai monupluralis. Menurut (Notonegoro, 1975 dalam Surajiyo 2010:160) manusia sebagai monopluraris demensi-demensinya dijabarkan sebagai berikut.(1) Susunan kodrat, manusia terdiri atas jiwa yang terbagi menjadi beberapa unsure seperti akal, rasa, dan karsa, raga terdiri atas benda mati, unsur hewan, dan unsure tumbuhan, (2) sifat kodrat manusia mencakup sifat manusia  sebagai makluk individu dan makluk social, (3) kedudukan kodrat manusia mencakup kedudukan manusia sebagai makluk berdiri sendiri dan makluk tuhan.
Dari susunan kodrat, sifat kodrat dan kedudukan kodrat manusia tersebut, manusia dapat memelirarah hubungan dengan tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesame manusia, dan dengan alam sekitarnya secara serasi, selaras, dan seimbang. Aktualisasi nilai filsafat antropologis pancasilah dalam pembangunan diformulasikan dalam konsep pembangunan manusia seutuhnya.
Pancasila Sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pembangunan nasional adalah upaya bangsa untuk mencapai tujuan nasionalnya sebagaimana yang dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945. Pada hakikatnya Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung arti bahwa segala aspek pembangunan harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Negara dalam rangka mewujudkan tujuannya melalui pembangunan nasional untuk mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dikembalikan pada dasar-dasar hakikat Pancasila.
Dalam upaya manusia mawujudkan kesejahteraan dan peningkatan harkat dan martabatnya maka manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Pancasila telah memberikan dasar nilai-nilai bagi pengembangan iptek demi kesejahteraan hidup manusia. Pengembanga iptek sebagai hasil hasil budaya manusia harus didasarkan pada moral ketuhanan dan kemanusiaan yang beradap. Oleh karena itu, pada hakikatnya sila-sila Pancasila harus merupakan sumber nilai, kerangka pikir, serta basis moralitas bagi pengembangan iptek.
Menurut Kaelan, 2000 (dalam Surajiyo, 2010: 161-163) bahwa Pancasila merupakan satu kesatuan dari sila-silanya harus merupakan sumber nilai, kerangka berpikir serta asas moralitas bagi pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, sila-sila dalam Pancasila menunjukkan system etika dalam pembangunan iptek, yakni:
1)      Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengimplementasiakn ilmu pengetahuan, mencipta, perimbangan antara rasional dan irrasional, antara akal, rasa, dan kehendak. Sila pertama menempatkan manusia di alam semesta bukan sebagai pusatnya, melainkan sebagai bagian yang sistematik dari alam yang diolahnya.
2)      Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap, memberikan dasar-dasar moralitas bahwa manusia dalam mengembangkan iptek haruslah secara beradap. Pengembangan iptek juga harus didasarkan pada hakikat tujuan demi kesejahteraan umat manusia. Iptek harus dapat diabdikan untuk peningkatan harkat dan martabat manusia, bukan menjadikan manusia sebagai makhluk yang angkuh dan sombong akibat dari penggunaan iptek.
3)      Sila Persatuan Indonesia, memberikan kesadaran bangsa Indonesia bahwa rasa nasionalisme bangsa Indonesia akibat dari sumbangan iptek, dengan iptek persatuan dan kesatuan bangsa dapat terwujud dan terpelihara, persaudaraan dan persahabatan antardaerah di berbagai daerah terjalin karena tidak lepas dari factor kemajuan iptek.
4)      Sila Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyaratan/Perwakilan, mendasari pengembangan iptek secara demokratis. Artinya setiap ilmuwan haruslah memiliki kebebasan untuk mengembangkan iptek. Selain itu dalam pengembangan iptek setiap ilmuwan harus menghormati dan menghargai kebebasan orang lain dan harus memiliki sikap yang terbuka untuk dikritik, dikaji ulang maupun dibandingkan dengan penemuan teori lainnya.
5)      Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, kemajuan iptek harus dapat menjaga keseimbangan keadilan dalam kehidupan kemanusiaan, yaitu keseimbangan keadilan dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat bangsa dan Negara, serta manusia dengan alam lingkungannya.
Kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional menurut Syarbaini, 2003 (dalam Surajiyo, 2010: 162-163) harus memperhatikan konsep berikut: (1) Pancasila harus menjadi kerangka kognitif dalam identitas diri sebagai bangsa, (2) Pancasila sebagai landasan pembangunan nasional, (3) Pancasila merupakan arah pembangunan nasional,  (4) Pancasila merupakan etos pembangunan nasional, (5) Pancasila sebagai moral pembangunan.
Visi Ilmu di Indonesia
Visi adalah wawasan ke depan yang ingin dicapai dalam kurun waktu tertentu. Visi bersifat intuitif yang menggerakkan jiwa dan menggerakkan jiwa untuk berbuat. Visi tersebut merupakan sumber inspirasi, motivasi, dan kreatifitas yang menggarahkan proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara menuju masa depan yang dicita-citakan. Penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara diorientasikan kea rah perwujudan visi tersebut karena pada hakikatnya hal itu merupakan penegasan cita-cita bersama seluruh rakyat.
Bagi bangsa Indonesia strategi pengembangan ilmu pengetahuan yang paling tepat menurut Wibisono, 1994 (dalam Surajiyo, 2010:163) ada dua hal pokok, yaitu visi dan orientasi filosofisnya diletakkan pada nilai-nilai Pancasila di dalam menghadapi masalah-masalah yang harus dipecahkan sebagai data atau fakta objektif dalam satu kesatuan integrative. Visi dan orientasi operasionalnya diletakkan pada dimensi-dimensi berikut:
a.       Teleogis, dalam arti bahwa ilmu pengetahuan hanya sekedar sarana yang memang harus kita pergunakan untuk mencapai suatu teleos (tujuan), yaitu sebagaimana merupakan ideal kita untuk mewujudkan cita-cita sebagaimana dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
b.      Etis, dalam arti bahwa ilmu pengetahuan harus kita operasionalisasikan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Manusia harus berada pada tempat yang sentral. Sifat etis ini menuntut penerapan ilmu pengetahuan secar bertanggung jawab.
c.       Integral atau Integratif, dalam arti bahwa penerapan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kualitas manusia, sekaligus juga diarahkan untuk meningkatkan kualitas struktur masyarakatnya, sebab manusia selalu hidup dalam relasi baik dengan sesame maupun dengan masyarakat yang menjadi ajangnya. Peningkatan kualitas manusia harus terintegrasikan ke dalam masyarakat yang juga harus ditingkatkan kualitas strukturnya.
Dengan ilmu di atas perlu refleksi anjuran-anjuran bagaimana membangun pemikiran ilmiah di Indonesia Jacob (dalam Surajiyo, 2010:163) mengajurkan bahwa dalam rangka mengimbangi perkembangan iptek yang cenderung mengancam otonomi manusia, para ilmuwan selayaknya jika memperhatikan agama, etika, filsafat, dan sejarah ilmu. Mintaredja (dalam Surajiyo, 2010:164) juga menyarankan agar ilmu dapat leih aktif dan mampu berfungsi sebagaimana mestinya, hal-hal dasar yang perlu diperhatikan antara lain:
1)      Ilmu harus mampu mempunyai kebudayaanmasyarakat karena dengan memperhatikan kebudayaan masyarakat, ilmu dapat berkembang persis seperti yang diharapkan masyarakat.
2)      Adanya keinsyafan tidak selalu kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya  untuk memperoleh kebenaran.
3)      Pendidikan moral (etika) dan etika Pancasila serta moral keagamaan syarat mutlak bagi moral para ilmuan agar memiliki etika professional yang seimbang.
4)      Perlu pendidikan filsafat , khususnya pendidikan filsafat ilmu atau epistemology bagi Pendidikan Tinggi.



KAJIAN PUSTAKA
Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Suhartono, Suparlan. 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Arruz Media.